Kurban dan Sebab Pensyari’atannya

| Label: | |


Pertanyaan :
Apa itu ibadah kurban? Mengapa ia disyariatkan? Apakah hukumnya wajib?

Jawaban :

Mufti Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Binatang kurban adalah binatang yang disembelih pada hari-hari Nahr dengan syarat-syarat khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Adapun hewan yang disembelih bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, maka ia tidak disebut sebagai kurban, seperti ternak yang disembelih untuk dijual, dimakan dan untuk jamuan tamu. Di samping itu ternak yang yang disembelih bukan pada hari-hari Nahr juga tidak bisa disebut sebagai hewan kurban, walaupun diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Juga tidak bisa disebut sebagai kurban hewan yang disembelih dengan niat akikah, dam haji Tamattu’, dam haji Qiran, hukuman karena meninggalkan salah satu kewajiban haji ataupun melakukan salah satu larangan haji. Juga tidak bisa disebut kurban hewan yang disembelih sebagai hadiah untuk tanah Haram dan para fakir miskin di dalamnya.

Tujuan dari penyembelihan hewan kurban adalah bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat hidup yang Dia berikan hingga hari-hari utama pada bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana kesyukuran Nabi Ibrahim a.s. dengan menyembelih seekor domba jantan yang besar karena kehidupan anaknya, Isma’il a.s.. Di samping itu, penyembelihan kurban sebagai implementasi dari rasa syukur kepada Allah ta’ala atas izin-Nya untuk menyaksikan hari-hari besar tersebut dan atas taufik-Nya untuk beramal saleh. Karena hari-hari tersebut termasuk hari-hari terbaik Allah ta’ala yang Dia gunakan untuk bersumpah di dalam firman-Nya,
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (al-Fajr: 1-2).

Rasulullah saw. juga bersabda tentangnya,
((مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ)). يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلاَ الْجِهَادُ في سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: ((وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ)).
“Tidak ada satu hari pun yang amal saleh di dalamnya lebih disukai Allah ‘azza wajalla dari hari-hari ini”. Maksudnya sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah. Lalu para sahabat bertanya, “Apakah tidak juga jihad fi sabilillah?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali seorang lelaki yang pergi berjihad dengan membawa jiwa dan hartanya kemudian keduanya tidak kembali sama sekali”. (HR. Bukhari dan yang lainnya dari Ibnu Abbas).

Islam sebagai agama yang benar mengajarkan kepada para pengikutnya agar kebahagiaan mereka hanya untuk Allah, karena Allah dan berkat anugerah Allah.

“Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 58).

Maka hari raya Idul Fitri dan Idul Adha merupakan hari bahagia karena seorang muslim telah mampu menunaikan ketaatan kepada Allah dan mendapatkan taufik-Nya serta ridha-Nya. Hal ini agar seorang muslim terbiasa menjadikan kebahagiaannya, kesedihannya dan pemberiannya murni karena Allah semata. Juga agar dia hidup dan mati untuk Allah semata.

Ibadah kurban disyariatkan berdasarkan Alquran, Sunnah dan Ijma’.
Dalam Alquran Allah berfirman,

“Maka dirikanlah salat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2).

Di antara tafsir ayat ini adalah lakukanlah salat Ied dan sembelihlah kurban berupa unta dan sebagainya.

Adapun dalil dari Sunnah, maka ada yang berupa Sunnah Qauliyah dan ada juga Sunnah Fi’liyah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barang siapa memiliki kemampuan sedangkan dia tidak menyembelih kurban, maka jangan mendekati tempat salat kami”.

Diriwayatkan juga dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, “Nabi saw. menyembelih kurban berupa dua ekor kambing jantan yang besar dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri keduanya. Dan ketika menyembelih, beliau membaca basmalah dan bertakbir. Dan beliau meletakkan kaki beliau di atas sisi tubuh keduanya”.

Umat Islam juga berijmak tentang masyruknya menyembelih kurban.

Adapun hukumnya, maka menurut jumhur ulama ia adalah sunnah mu’akkad, yaitu tidak berdosa jika meninggalkannya, namun seorang muslim yang mampu kehilangan kebaikan yang banyak jika tidak melakukannya.

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا، وَإنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الْأَرْضِ فَطِيْبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidak ada ibadah yang dilakukan seorang manusia pada hari Nahr yang lebih Allah sukai melebihi mengalirkan darah. Sesungguhnya kelak pada hari kiamat, hewan kurban itu akan datang utuh dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya darah itu diterima di sisi Allah sebelum ia jatuh ke bumi. Oleh karena itu, hendaklah hati kalian rela dengan ibadah kurban itu.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim. Dan Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadis hasan gharib”, dia ia dishahihkan oleh Hakim”).

Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum meyembelih kurban adalah wajib. Di antara ulama yang berpendapat wajib adalah Abu Hanifah dan Malik dalam salah satu pendapatnya.

Di antara para ulama yang berpendapat bahwa hukumnya sunah, ada yang berpendapat bahwa ia adalah sunah ‘ain yang hanya berlaku untuk pelakunya saja. Ada juga yang berpendapat bahwa hukumnya adalah sunah ‘ain bagi orang yang sendirian dan sunah kifayah bagi satu keluarga. Dan ini adalah pendapat para ulama Mazhab Syafi’i dan para ulama Mazhab Hambali. Dan pendapat inilah yang kami pilih. Dengan ini, maka satu orang bisa menyembelih kurban untuk dirinya sendiri dan untuk anggota keluarganya walaupun dengan seekor kambing.
Abu Ayub al-Anshari r.a. berkata, “Dulu kami menyembelih seekor kambing atas nama diri kami dan anggota keluarga kami. Setelah itu orang-orang saling membanggakan diri, sehingga penyembelihan kurban menjadi alat untuk berbangga-bangga”. (HR Malik dan dishahihkan oleh Nawawi dalam al-Majmû’).

Anggota keluarga yang dimaksud adalah orang-orang yang menjadi tanggung jawab penyembelih tersebut. Dan maksud dari sunah kifayah adalah gugurnya tuntutan untuk melakukannya dari semua orang jika telah dilakukan oleh salah seorang dari mereka, bukan setiap mereka mendapatkan pahala dari kurban itu, kecuali jika orang yang menyembelih berniat mengikutkan mereka dalam pahala kurban tersebut.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.


Artikel Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar